"Barangsiapa yang niat dan caranya dalam kebenaran, niscaya
Allah akan memberi ketenangan dalam situasi seberat apapun" (aa gym)]
Niat secara bahasa adalah
"maksud" (القصدُ)
Sementara menurut Syara’ niat adalah :
قَصْدُ فعْلِ العبادةِ تَقرُّبًا إلى الله تعالى، بأن يَقْصِد
بعملِه اللهَ تعالى دونَ شيءٍ آخرَ، وهذا هو الإخْلاصُ. والعبادةُ إخْلاصُ العملِ
بكلّيّتِه لله تعالى
“Maksud
mengerjakan sebuah amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan
tujuan ibadahnya tersebut hanya Allah swt tidak ada tujuan yang lain dan hal
ini disebut pula ikhlas. Ibadah adalah pemurnian amal secara keseluruhan hanya
kepada Allah semata.”
Dari pengertian di atas niat identik
dengan ikhlas, sebagimana Imam Al-Mawardi menguatkan hal itu الإخلاصُ
في كلامِهم هوالنيّة
Ikhlas dalam pandangan ulama adalah
niat.
Niat adalah maksud atau keinginan kuat di dalam
hati untuk melakukan sesuatu. Dalam terminologi syar'i berarti adalah keinginan
melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau
meninggalkannya.Niat termasuk perbuatan hati maka tempanya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya.
Aspek niat itu ada 3 hal :
1.
Diyakini dalam hati.
2.
Diucapkan dengan lisan (tidak perlu
keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau bahkan menjadi ijma.
3.
Dilakukan dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila ke
tiga aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh saya berniat untuk salat,
hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan niat untuk salat dan tubuhnya
melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu
haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras.
Dengan definisi niat yang seperti
ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya 'semantik' saja karena dengan berniat
berati bersatu padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu
dan tawadhu,
ucapan yang baik dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan
tidak tergesa-gesa serta cerdas. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk
ciri-ciri orang yang munafik.
Rasulullah bersabda : إنّما
الأعمالُ بالنيّةِ (رواه الأَئمة الستّة)
“Sesungguhnya semua amal-amalan itu
tergantung pada niat.”
Lafadh ( إنّما
) dalam susunan kalimat di atas menunjukkan pada makna Al-Hashru
artinya pembatasan dengan penterjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “hanya”,
dalam kaidah disebutkan bahwa Al-Hashru mengandung makna menetapkan
hukum yang disebutkan dan menafikan selainnya.
الأعمالُ
adalah bentuk jamak yang diawali dengan alif lam yang menunjukkan arti
istighraq yang mengandung makna seluruh amal. Sementara yang dimaksud disini
adalah semua amal syar’i yang membutuhkan niat. Jadi setiap amal harus ada niat
dan tidak ada amal tanpa niat.
Mengaplikasikan niat dalam
melakukan suatu amal ibadah agar amal yang dilakukan tidak sia-sia, hal ini
sangat penting karena makna niat sebenarnya tidak hanya sebatas bermaksud untuk
melakukan suatu amal saja, melainkan amal tersebut harus bersandar dengan
ketentuan yang sudah digariskan Islam.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
mengatakan أنّ النيّةَ تَرْجع إلى الإخْلاصِ، وهو واحدٌ للواحدِ الذي
لاشريكَ له
“Sesungguhnya niat itu kembali pada
ikhlas, dan ikhlas adalah satu untuk Yang Satu tiada sekutu bagi-Nya.”
Imam Baidlawi berpendapat الإرادةُ المُتوجِّهةُ نحوَ الفعلِ
لابْتغاءِ رضاءِ الله وامْتثالِ حكمِه
“Maksud yang terarah dalam melaksanakan
suatu amal ibadah hanya mencari Keridhaan Allah dan dalam pelaksanaannya
mentaati hukum-Nya.”
Dari kedua pendapat di atas jelas
bahwasannya untuk dapat diterimanya amal harus memenuhi persyaratan yang
tekandung dalam makna niat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani bahwa niat itu adalah satu untuk Yang Satu, mengandung pengertian
bahwa amal harus sesuai dengan peraturan yang telah digariskan oleh yang Satu
(risalah Islam sebagai hukum yang buat oleh Allah swt), sehingga untuk menuju
Yang Satu tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan.
Senada dengan keterangan di atas
yaitu yang disampaikan Imam Baidlawi bahwa berniat dengan maksud yang terarah
hanya untuk meraih Ridha Allah SWT dan pula dalam amalnya tersebut
mengikuti dan tunduk pada cara yang telah di gariskan Allah swt.
Dengan demikian bahwa apabila
seorang muslim berniat untuk melakukan ibadah hanya menuju Ridha Allah tapi
tanpa mengikuti tata cara ibadah yang di ajarkan Rasulullah saw maka dia tidak
akan sampai amalnya kepada Allah swt karena persyaratan mutlak untuk tunduk
pada hukum Allah tidak terpenuhi.
Imam Fudlail bin ‘Iyad dalam menafsirkan
ayat 2 surat Al-Mulk
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ
وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun”
“siapa diantara kamu yang lebih baik
amalnya” kalimat ini di tafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah orang yang melakukan amalnya dengan ikhlas dan benar, selanjutnya Imam
Fudlail bin ‘Iyad mengatakan : إنّ
العَملَ إذا كانَ خالِصًا ولَمْ يكُنْ صَوابًا لَمْ يُقْبَلْ، وإذا كان صَوابًا
ولَمْ يكُنْ خالِصًا لَمْ يُقْبَلْ، حتّى يكونَ خالِصًا صَوابًا. ألخالص أنْ
يكونَ لله، والصَوابُ أنْ يكونَ على الكتابِ والسُنَّةِ
“Sesungguhnya apabila melaksanakan amal dengan ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima, apabila amal itu benar namun tidak ikhlas maka tidak akan diterima, sehingga amal yang diterima itu harus ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah karena Allah swt semata dan amal yang benar itu adalah sesuai dengan Kitab Allah swt dan Sunnah Rasulullah SAW.”
Al-Allamah Ibnu Qayyim berkomentar
tentang niat : Sebagian Ulama Salaf mengatakan, tidaklah suatu pekerjaan
meskipun kecil, melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan, yaitu
mengapa dan bagaimana? yakni mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu
melakukan?
Jadi sebagai seorang Ahlus-sunnah
Wal Jama’ah dalam melakukan sebuah amal ibadah harus membersihkan tujuan yang
lain kecuali hanya Allah semata dan amal ibadah yang dilakukan harus sesuai
dengan ketentuan Syari’at, tidak bisa seorang muslim melaksanakan ibadah hasil
dari buah fikirannya sendiri yang mereka anggap baik.
Sebagai seorang muslim yang rendah
hati mereka akan melihat ke diri sendiri dan bertanya, sudahkah amal ibadah
yang dilakukannya seiring dengan ketentuan syari’at ataukah masih bersandar
pada taqlid buta? sementara taqlid akan mengantarkan pada amal-amal muhdatsat (sesuatu
hal baru yang diada-adakan menyerupai syari’at).
Di zaman sekarang ini kalau semua
muslim jujur akan dirinya, tanpa disadari dan diketahui mayoritas mereka
melaksanakan ibadahnya sudah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah yang
sebenarnya, hanya anehnya tatkala kebenaran yang bersandar kepada Rasul
disampaikan mereka seolah menolaknya. Tapi penolakan mereka sangat bisa
dimaklumi mungkin karena mereka belum mengetahui Islam yang sebenarnya.
Sebagai suatu bukti untuk
perenungan, pelaksanaan shalat yang sehari-hari dilakukan, sudahkah yakin bahwa
apa yang dilaksanakan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW?, tatkala
diajukan pertanyaan seperti ini mereka menjawab tidak tahu, inilah potret kaum muslimin di akhir zaman.
0 komentar:
Post a Comment